CERITA SERAM : MALAM TERAKHIR DI BLOK N18

Ini hanya cerita fiktif :

Iid dan Habib nggak pernah nyangka bakal dapat rumah kontrakan semurah itu di komplek Blok N18. Rumah dua lantai, catnya masih bagus, lokasinya dekat jalan utama pula. Pemilik rumah cuma bilang, “Kalau mau, ambil aja. Yang penting ada yang nempatin.”
Sedikit aneh, tapi mereka butuh tempat cepat. Jadi tanpa banyak tanya, mereka ambil.

Begitu masuk, hawa rumahnya tuh… beda. Nggak menyeramkan secara langsung, cuma kayak ada kesunyian yang nggak wajar. Kanan-kiri rumah terlihat kosong, padahal daftar penghuni komplek bilang blok itu penuh. Tapi tiap malam, nggak pernah sekalipun ada suara orang, suara TV, atau suara motor lewat.

Malam pertama, semuanya aman.

Malam kedua, Iid lihat sekilas kayak ada bayangan orang berdiri di dekat pagar waktu dia mau nutup pintu dapur. Waktu dia cek lagi, kosong.
Habib cuma ketawa, “Udah lah Id, mata lo halu.”

Tapi malam ketiga… Habib sendiri yang kena.

Sekitar jam 1 pagi, Habib kebangun karena denger langkah kaki naik turun tangga.

Pelan… tapi ritmenya jelas.
Tok… tok… tok…

Dia kira Iid belum tidur. Tapi waktu dia panggil, “Id? Lo ngapain?” langkahnya langsung berhenti.
Sunyi. Lama.
Sampai akhirnya langkah itu muncul lagi—tapi sekarang dari lantai dua.

Habib, yang biasanya sok berani, akhirnya bangun sambil bawa senter HP. Dia pelan-pelan naik. Dan waktu kepalanya muncul di ujung tangga… dia langsung kaku.

Di pojok lantai dua, ada sesuatu sedang duduk nunduk. Bentuknya kecil, rambutnya panjang berantakan nutupin muka. Diam. Nggak bergerak. Nggak napas.

HP Habib tiba-tiba mati.
Gelap total.

Iid yang kebangun denger teriakan Habib langsung lari naik. Tapi waktu dia nyalain lampu emergency, lantai dua itu kosong. Nggak ada apa-apa.
Cuma ada bekas tapak kaki kecil di debu, menuju sudut ruangan… dan berhenti di sana kayak hilang.

Malam-malam berikutnya makin kacau.

Pintu rumah suka kebuka sendiri.
Ada suara bisik-bisik manggil nama mereka dari arah kamar mandi.
Dan tiap jam 2 pagi, ada yang ngetok pintu depan.
Tapi begitu dibuka—kosong.
Cuma bau tanah basah yang menusuk.

Puncaknya terjadi malam Jumat.

Jam 12 lewat, listrik mati. Rumah gelap semua.
Dari arah dapur terdengar suara piring pecah, bukan sekali… tapi berkali-kali.
CRAK!
CRAK!
CRAK!

Iid dan Habib ngumpet di kamar bawah, tapi suara piring berubah jadi suara gesekan… kayak ada sesuatu yang diseret di lantai.

Pintu kamar tiba-tiba bergetar.
Pelan di awal… lalu makin keras.

DUP… DUP… DUP!!

Iid udah gemeteran.
“Bi… gue nggak mau di sini lagi. Ada apa sih sebenernya di N18?”

Habib mau jawab, tapi pintu kamar terbuka sedikit… dan dari celah pintu itu, mereka lihat sepasang mata kecil—merah, bundar, dan dingin—melirik ke dalam.

Mulut makhluk itu senyum lebar, kayak sobek sampai ke pipi.
Dan dia merangkak masuk dengan suara tulang retak-retak.

Besok paginya, tetangga yang lewat lihat pintu rumah Blok N18 kebuka lebar. Semua lampu nyala. Tapi nggak ada siapa-siapa di dalam.

Iid dan Habib hilang.

Yang tertinggal cuma bekas jejak kaki kecil penuh debu yang mengarah ke tangga…
dan berhenti di tengah kamar, tepat di lantai yang basah, seolah ada seseorang berdiri lama di situ.

Sejak hari itu, Blok N18 kembali kosong.
Dan orang-orang bilang, kalau kamu lewat sana tengah malam, kadang masih terdengar suara lirih:

“Id… Bib… pulang… rumah N18 udah nunggu…”

Setelah kejadian hilangnya Iid dan Habib, komplek Blok N18 mendadak jadi bahan omongan warga. Banyak yang bilang itu cuma gosip yang dibesar-besarkan. Ada juga yang percaya kalau dua orang itu kabur karena masalah pribadi.
Tapi satu hal yang nggak bisa dibantah:

Setiap malam, rumah itu tetap hidup.

Lampunya sering berkedip sendiri. Kadang pintunya kebuka pelan, kayak ada yang keluar masuk.
Dan yang paling sering, suara langkah kaki kecil terdengar dari lantai dua.

Sampai akhirnya, dua minggu setelah mereka hilang… kakak sepupu Habib, nama-nya Danar, datang ke komplek itu.

Danar ini orangnya keras kepala. Dia nggak percaya hal-hal aneh.
Dia cuma tahu satu: Habib nggak mungkin pergi tanpa kabar.

Waktu dia sampai di gerbang komplek, satpam yang jaga langsung melongo.

“Mas… mau ke N18?”
“Iya.”
Satpam itu diam lama. “Mending jangan deh, Mas. Itu rumah… sejak kejadian—”
“Tolong bukain aja pintunya.”

Nada Danar tegas. Satpam akhirnya menyerah.


MASUK KE RUMAH N18

Begitu Danar masuk ke dalam rumah, dia langsung dapat perasaan aneh. Udara di dalam panas tapi lembab, kayak rumah yang nggak pernah dibuka jendela selama berbulan-bulan.

Semua barang Iid dan Habib masih ada.
Tas, sandal, pakaian, bahkan mie instan yang mereka beli masih numpuk di meja.

Tapi yang bikin Danar merinding adalah…

Ada BASAHAN di lantai menuju kamar bawah.
Seolah ada seseorang berdiri di situ semalaman.
Bentuknya seperti tapak buta, licin, dan dingin.

Danar maju sedikit, memeriksa. Tiba-tiba lampu rumah nyala sendiri, terang banget, lalu padam lagi.
Rumah kembali gelap.

Dia ngehela napas panjang. “Oke… satu-satu.”

Danar naik ke lantai dua.

Tangga itu berderit halus setiap dia injak. Sampai dia sadar satu hal:

Ada suara langkah lain mengikuti ritme langkahnya.
Tapi dari lantai atas.
Dari posisi lebih jauh di depan, seperti seseorang memandu.

Danar berhenti.
Suara di atas berhenti.

Danar melanjutkan.
Suara itu melanjutkan.

Setibanya di lantai dua, Danar langsung merasakan hawa dingin menusuk, kayak habis buka freezer.
Dia ambil senter dari tas, nyalain, dan memutari ruangan.

Kosong.
Hanya ada debu tebal dan jejak-jejak kaki kecil.

Tapi ada satu hal baru…
Jejak kaki itu sudah bertambah. Banyak.
Banyak sekali.

Jejak kecil, besar, panjang, pendek — semua mengarah pada satu titik: sudut ruangan tempat Habib melihat sosok anak kecil waktu itu.

Di sudut itu sekarang ada sesuatu…

Sebuah boneka.
Boneka lusuh, rambutnya kusut, matanya merah kecoklatan kayak kering darah.

Danar memungutnya.
Begitu dia sentuh, udara ruangan langsung berubah berat… dan senter di tangan Danar mati total.

Dalam gelap, dia dengar suara—
suara yang bukan dari ruangan itu.
Suara lirih… pelan… seperti bisikan dari balik tembok.

“Da… nar…”

Tubuh Danar langsung merinding.
Dia memutar badan, tapi gelap membuatnya buta.

Bisikan itu lebih jelas.
Lebih dekat.

“Bantu… kami…”

Itu suara Habib.
Dan di belakangnya—suara Iid.

“Jangan tinggalin kami di sini…”

Danar gemetar. Dia manggil balik, “Habib? Id? Kalian dimana?!”

Suara itu menjawab:

“Di lantai bawah…”

Danar lari menuruni tangga tanpa pikir panjang. Nafasnya kacau, tapi dia terus turun sampai hampir jatuh. Begitu sampai di bawah, dia berhenti.
Rumah tiba-tiba terasa asing.

Gelap. Sunyi.
Tapi ada satu hal yang berubah.

Pintu kamar bawah terbuka sedikit.
Dan dari dalamnya keluar bau tanah basah yang sama persis seperti yang diceritakan warga.

Danar pelan-pelan mendekat.

“Bi? Id?”
Nggak ada suara.

Dia ulur tangan, buka pintu itu lebar.

Di dalam…

Kosong.

Hanya ada dinding, kasur terbalik, dan… bayangan.
Bayangannya sendiri.

Tapi ada yang janggal.
Bayangan tubuh Danar bergerak SELANG beberapa detik dari gerak tubuh aslinya.
Seolah ada sesuatu yang menirunya… tapi salah waktu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa kecil—
Pelan.
Tipis.
Tawa anak kecil.

Lampu kamar menyala sendiri, kelap-kelip kacau.
Danar reflek menutup mata. Begitu dia buka kembali…

Di tengah kamar,

dua sosok berdiri membelakanginya.

Iid dan Habib.

Pakaian mereka yang terakhir dipakai masih sama. Tapi tubuh mereka kaku, pucat, dan lehernya miring tidak wajar, seolah pernah ditarik sesuatu.

Dan tanpa mereka menoleh, suara dari mulut mereka keluar bersamaan:

“Pergi…
sebelum kamu jadi bagian dari kami…”

Lampu mati.
Kamar gelap.

Suara langkah kaki kecil mulai berdatangan dari setiap sudut lantai dua.
Dari tangga.
Dari dapur.
Dari atap.

Tok… tok… tok… tok… tok… tok…

Ratusan langkah kecil bergerak mendekati kamar.

Danar langsung kabur keluar rumah. Dia lari sampai terjatuh, tapi terus bangkit tanpa menoleh.
Waktu sampai di gerbang komplek, satpam yang tadi kaget bukan main.

“Mas… Mas kok pucet begitu?”
Danar cuma bisa bilang satu kalimat:

“Jangan biarin siapa pun masuk N18 lagi.
Yang tinggal di dalam bukan manusia…”