Semua orang di kampung itu kenal satu nama: Anjas.
Bukan karena dia populer, bukan karena dia ramah…
Tapi karena sejak kecil, dia punya sesuatu yang nggak biasa.
Anjas nggak pernah benar-benar terlihat datang.
Nggak pernah terdengar pergi.
Dia cuma… muncul.
Diam.
Memandang.
Dan menghilang lagi.
Orang tuanya bilang Anjas memang pendiam.
Tapi warga bilang, diamnya Anjas bukan diam manusia.
AWAL KEANEHAN
Rumah Anjas berada paling ujung kampung, dekat hutan kecil. Rumahnya selalu gelap, meski matahari terik. Anjas tinggal sendirian, setelah kedua orang tuanya meninggal bertahun-tahun lalu—atau itulah yang dipercaya orang karena tak ada yang pernah melihat mereka keluar rumah lagi.
Yang selalu mereka lihat hanya Anjas.
Sosok kurus, pucat, mata cekung, berjalan sangat pelan…
tapi langkahnya tak pernah terdengar.
Anak-anak kampung bilang setiap kali lari lewat depan rumahnya,
bayangan di balik jendela rumah Anjas selalu ada,
meski jendela itu tertutup tirai tebal.
KEJADIAN MALAM KEMARIN
Sampai akhirnya, suatu malam listrik di kampung mati. Gelap total.
Dari rumah-rumah yang redup itu, orang-orang melihat sesuatu.
Anjas.
Berdiri di tengah jalan desa, jaraknya jauh dari rumahnya.
Kepalanya sedikit menunduk.
Kedua tangannya menggantung kaku di sisi tubuh, tapi jari-jarinya bergerak satu per satu… seperti menghitung sesuatu.
Dia tidak membawa lampu.
Tidak membawa apa pun.
Tapi meski gelap, wajahnya terlihat pucat sekali.
Lebih pucat dari biasanya.
Pak Saiman, warga yang paling tua, nekat keluar rumah untuk memastikan.
“Jas? Kamu ngapain di tengah jalan?”
Anjas hanya mengangkat wajah pelan…
dan tersenyum.
Tapi senyuman itu aneh—
lebar, terlalu lebar, seolah pipinya ditarik paksa.
“Sudah… dekat,” kata Anjas.
Suara itu berat, tidak cocok dengan tubuhnya.
Pak Saiman mundur. “Apa yang dekat, Jas?”
Anjas menatapnya lama.
"Lihat ke belakang…"
Pak Saiman menoleh.
Tak ada apa-apa.
Saat kembali menatap Anjas—
Anjas sudah berdiri tepat di depannya.
Padahal jaraknya tadi puluhan meter.
Dan dia bergerak tanpa suara.
KEESOKAN PAGI
Orang-orang menemukan Pak Saiman pingsan di jalan.
Saat sadar, dia cuma bilang satu hal:
“Jangan biarin Anjas masuk rumah kalian…
dia tidak berjalan sendirian…”
Tapi yang paling mengerikan adalah cerita anak-anak yang lewat dekat rumah Anjas pagi itu.
Mereka melihat pintu rumahnya terbuka sedikit.
Dan dari celah itu, terlihat punggung Anjas sedang duduk di lantai.
Tapi…
Dia bukan sendiri.
Di sekelilingnya, ada bayangan-bayangan kecil duduk melingkar—
bukan manusia dewasa, bukan anak-anak…
Bentuknya tidak jelas.
Merangkak.
Menggeser.
Mengikuti gerakan Anjas seolah dia sedang memimpin sesuatu.
Dan satu anak kecil mengaku melihat ini:
“Waktu Anjas bangun dan menoleh ke arahku…
bayangan-bayangan itu menoleh juga.
Semua mata mereka sama.
Hitam. Tidak ada putihnya.”
MALAM SETELAHNYA
Pukul 2 pagi, seluruh kampung mendengar ketukan di pintu masing-masing rumah.
Sama ritmenya.
Sama suaranya.
Lima kali.
Tok… tok… tok… tok… tok…
Saat ada warga yang nekat mengintip melalui lubang pintu…
Dia melihat Anjas berdiri di depan rumah—
kepalanya menunduk lagi, jari-jarinya bergerak seperti menghitung.
Tapi yang bikin warga trauma adalah…
Bukan Anjas-nya.
Tapi sesuatu di belakangnya.
Bayangan-bayangan kecil itu… berdiri berbaris.
Semakin banyak.
Semakin rapat.
Dan mereka bergerak mengikuti gerak jari Anjas, seperti menunggu perintah.
KENAPA ANJAS BEGITU?

Tidak ada yang tahu.
Ada desas-desus bilang dia belajar sesuatu dari hutan.
Ada yang bilang orang tuanya tidak benar-benar meninggal.
Ada yang bilang—
Anjas bukan lagi manusia sejak malam badai ketika dia ditemukan berjalan keluar hutan, sendirian, tubuhnya penuh tanah basah.
Yang pasti, satu hal:
Setiap malam pukul 2, Anjas datang.
Menghitung.
Mencari rumah berikutnya.
Dan semua warga percaya…
Jika Anjas selesai menghitung angka ke-10 di depan pintu rumahmu,
kamu tidak akan pernah bisa tidur di kasurmu lagi.
Karena kamu tidak akan ada di sana.